Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah cara lain untuk menghitung penghasilan neto. Disebut Norma Perhitungan Penghasilan Neto karena tidak menggambarkan penghasilan sebenarnya. Untuk menghitung penghasilan neto sebenarnya, maka Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan.
Tetapi, jika wajib pajak tidak mampu melakukan pembukuan sebelum membuat dan melaporkan SPT, maka wajib pajak boleh menghitung penghasilan lain dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan dalam mencari penghasilan neto.
Untuk menghitung Pajak Penghasilan dan melakukan koreksi fiskal, wajib pajak harus tahu terlebih dahulu penghasilan neto. Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah perkalian tarif dengan penghasilan neto, yang telah diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Penghasilan neto disebut juga penghasilan kena pajak yang menjadi dasar penerapan tarif sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU PPh.
Table of Contents
Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah norma yang bisa digunakan oleh wajib pajak dalam penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 yang terutang.
Secara khusus, Norma Penghitungan Penghasilan Neto bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan dalam mencari penghasilan neto. Sehingga, dapat memperkirakan estimasi pajak membuat SPT. Setelah mengetahui besaran penghasilan neto, maka wajib pajak bisa menghitung besaran PPh terutang untuk kebutuhan pembayaran dan pelaporan pajak.
Baca Juga : Perpajakan : Pengertian, Manfaat, dan Penerapannya
[elementor-template id="26379"]
Dasar hukum Norma Penghitungan Penghasilan Neto Penghasilan (NPPN) diatur dalam UU Republik Indonesia No. 36 tahun 2008 mengenai Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan pada pasal 14.
Selain itu, dijelaskan pula secara lebih dalam pada Peraturan DJP No. PER-17/PJ/2015 mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Syarat wajib pajak untuk menggunakan norma penghitungan ini adalah:
• Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar per tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali jika wajib pajak memilih menyelenggarakan pembukuan. Jika bruto lebih dari Rp4,8 miliar per tahun, maka wajib pajak harus menyelenggarakan pembukuan.
• Wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final, dapat menghitung penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Jadi, menurut UU di atas, cara menghitung penghasilan neto bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan NPPN.
Besaran NPPN tidak sama, sehingga persentase NPPN ini terbagi atas 3 kelompok menurut wilayahnya. Daftar tersebut dapat Anda lihat dalam lampiran PER-17/PJ/2015 tentang NPPN. Persentase NPPN menurut wilayah yaitu:
• Kelompok satu yaitu, sepuluh ibukota provinsi yang meliputi Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
• Kelompok kedu adalah Ibukota provinsi selain 10 ibukota kelompok pertama.
• Daerah lainnya yang meliputi untuk wajib pajak orang pribadi yang menghitung penghasilan neto menggunakan NPPN, wajib pajak orang pribadi yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya, dan wajib pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.
Jadi untuk menemukan persentase NPPN yang tepat, Anda bisa cek kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang cocok dengan SPT, kelompok usaha, dan tarif yang sesuai dengan kelompok wilayah.
Penghasilan neto adalah Penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 tahun pajak dikalikan tarif persentase NPPN. Misalnya Seorang wajib pajak yang berprofesi sebagai seorang agen asuransi dan berdomisili di Jakarta. Selama masa tahun pajak 2019, wajib pajak tersebut memiliki penghasilan bruto sebesar Rp 500.000.000,00 juta dengan total penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 100.000,000.00
Dari masalah di atas untuk mengetahui besaran NPPN, maka bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
• Mencari tarif persentase penghitungan netonya. Berdasarkan informasi pekerjaan dan domisili. Sesuai lampiran PER-17/PJ/2015 diperoleh persentase wajib tersebut adalah 50%.
• Menghitung penghasilan Neto = Rp500.000.000,00 x 50% Rp 250.000.000,00
• Menghitung PPh terutang dengan cara mengurangkan penghasilan neto dengan PTKP kemudian dikalikan dengan tarif Pasal 17 UU PPh. Besaran tarif pasal 17 UU PPh untuk wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan Rp 250.000.001,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 adalah sebesar 25%.
PPh Terutang = (Penghasilan neto - PTKP) x tarif Pasal 17 UU PPh
= (Rp250.000.000,00 - Rp 100.000.000,00)x 25%
= Rp 37.500.000,00
Menghitung neto perusahaan merupakan bagian penting dalam laporan keuangan yang akan digunakan sebagai data atau informasi pelaporan pajak.
Itu sebabnya, agar dalam menghitung neto perusahaan akurat, Anda harus menggunakan software yang mudah dan bisa digunakan secara efektif. Software akuntansi terbaik yang bisa Anda gunakan adalah Harmony. Tertarik mendapatkan softwarenya? Yuk, klik disini sekarang untuk mencoba berbagai fitur-fiturnya GRATIS 30 HARI!
Gunakan juga layanan Harmony Accounting Service jika Anda ingin terima beres mengenai laporan keuangan serta otomatisasi laporan pajak perusahaan Anda.
Dapatkan tips dan berita terbaru seputar keuangan, bisnis, pajak dan lainnya? Kunjungi dan ikuti updatenya melalui Facebook, Instagram, dan LinkedIn Harmony.